Inilah 6 (Enam) Metode Hisab Dan Ruqiyat Dalam Penentuan 1 Syawal
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengertian Hisab & Ruqiyat
Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah.
Ruqiyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah Matahari terbenam (maghrib),
karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya
Matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka
pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender)
baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan
mulai maghrib hari berikutnya.
Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sementara penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) bulan. Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 atau 30 hari.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penentuan 1 Syawal melalui metode Hisab
Sungguh sangat memprihatinkan sekaligus memalukan rasanya jikalau
penetapan 1 Syawal seringkali berbeda dari tahun ke tahun. Tercatat hari
Lebaran tanggal 1 Syawal 1432 Hijriyahkemarin merupakan perbedaan yang
keempat kalinya sejak enam tahun terakhir. Perbedaan sebelumnya pernah
terjadi tiga kali berturut-turut, yakni pada tahun 2006, 2007, dan 2008.
Sebagaimana kita ketahui bahwa di Indonesia 2 ormas Islam terbesar
memegang peranan penting dalam penentuan 1 Syawal, yakni Nahdlatul Ulama
(NU) dan Muhammadiyah. Namun masalahnya, kedua ormas tsb menggunakan
metode yang berbeda dalam menetapkan 1 Syawal. Tradisi di NU selalu
menggunakan rukyat, sedangkan metode hisab haqiqi wujudul hilal
merupakan cara yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan
Pusat Muhammadiyah.
Sebelum kita melangkah lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui
jenis-jenis hisab dan rukyat terlebih dahulu. Dalam hisab ada beberapa
jenis aliran yang pada intinya terbagi atas tiga jenis, yakni hisab urfi, hisab taqribi, dan hisab haqiqi.
- Hisab Urfi. “Urfi” berarti kebiasaan atau kelaziman (Farid Ruskanda, 1995:17). Hisab Urfi adalah hisab yang melandasi perhitungannya dengan kaidah-kaidah sederhana. Hisab urfi ini telah dipergunakan sejak zaman khalifah kedua, Umar bin Khattab r.a (tahun 17 H). Pada system hisab ini, perhitungan bulan qomariah ditentukan berdasarkan umur rata-rata bulan sehingga umur bulan dalam setahun qomariah barvariatif diantara 29 dan 30 hari.
Pada system hisab urfi ini, bulan yang bernomor ganjil dimulai dari
bulan Muharram berjumlah 30 hari, sedangkan bulan yang bernomor genap
dimulai dari bulan Shafar berjumlah 29 hari. Tetapi khusus bulan
Dzulhijjah (bulan ke-12) pada tahun kabisat berjumlah 30 hari. Dalam
hisab urfi juga mempunyai siklus 30 tahun (1 daur) yang di dalamnya
terdapat 11 tahun yang disebut tahun kabisat (panjang) memiliki 355 hari
pertahunnya dan 19 tahun yang disebut tahun basithah (pendek) memilik
354 hari pertahunnya. Tahun kabisat ini terdapat pada tahun ke-2, 5, 7,
10, 13, 16, 18, 21, 24, 26 dan ke-29 dari keseluruhan selama 1 daur (30
tahun). Dengan demikian, kalau dirata-rata periode umur bulan (bulan
sinodis/lunasi) menurut hisab urfi adalah (11 X 355 hari) + (19 X 354
hari) : (12 X 30 tahun) = 29 hari 12 jam 44 menit (menurut hitungan
astronomis: 29 hari 12 jam 44 menit 2,88 detik ).Walau terlihat sudah
cukup teliti, namun yang menjadi masalah adalah aturan 29 dan 30 hari
serta aturan kabisat yang tidak menunjukan posisi bulan yang sebenarnya
dan sifatnya hanya pendekatan saja. Oleh sebab itulah, maka system hisab
urfi ini tidak dapat dijadikan acuan untuk penentuan awal bulan yang
berkaitan dengan ibadah misalnya bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah.
- Hisab Taqribi. Dalam bahasa arab, “Taqrobu” berarti pendekatan atau aprokmasi. Hisab taqribi adalah sistem hisab yang sudah menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan matematis, namun masih menggunakan rumus-rumus sederhana sehingga hasilnya kurang teliti. System hisab ini merupakan warisan dari para Ilmuan Falaq Islam masa lalu dan hingga sekarang system hisab ini menjadi acuan pembelajaran hisab di berbagai pesantren di Indonesia.
Hasil hisab Taqribi akan mudah dikenali pada saat penentuan ijtima
dan tinggi hilal menjelang tanggal satu bulan qomariah, yaitu
terlihatnya selisih yang cukup besar apabila dibandingkan dengan
perhitungan astronomis modern.
Beberapa kitab ilmu falaq yang berkembang di Indonesia yang termasuk kategori hisab taqribi ini adalah Sullam An-Nayiroin, Ittifadzatilal-Banin, Fathul Ar-rufdiul mannan, Al-qiwaid Al-falaqiyah dan lain sebagainya.
- Hisab Haqiqi, yaitu perhitungan posisi benda-benda langit serta memperhatikan hal-hal yang terkait di dalamnya. Hisab haqiqi sering juga disebut Hisab yang sebenarnya, yaitu hisab yang ditentukan berdasarkan waktu peredaran bulan mengelilingi bumi yang sebenarnya. Tidak seperti hisab urfi, umur bulan dengan hisab ini tidak dapat dipatokkan, bahkan bisa terjadi umur/jumlah hari pada suatu bulan ganjil dan bulan genap adalah 29 atau 30 hari secara berurutan. System hisab haqiqi ini sudah mulai menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan matematis serta rumus-rumus terbaru dilengkapi dengan data-data astronomis terbaru sehingga memiliki tingkat ketelitian yang amat akurat.
Pada zaman ini, hisab haqiqi-lah hisab yang banyak diterima
dan dipakai oleh kaum Muslimin, tidak hanya untuk menghisab Hilal tetapi
juga menghisab hal-hal lainnya seperti menghisab jadwal shalat 5 waktu.
Hisab Haqiqi dapat dibagi menjadi 2 macam yakni hisab wujudul hilal dan hisab imkanurr rukyah.
a) Hisab Wujudul Hilal. Wujudul Hilal adalah
kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua
prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima’ qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul Hilal dapat
dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan
(kalender) baru sudah masuk atau belum. Hisab Wujudul Hilal ini
sebenarnya merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai Rukyat Bil
Ilmi, yaitu meru’yat dengan menggunakan ilmu sebagai alat untuk melihat
hilal. Tidak peduli apakah langit sedang mendung atau badai sekalipun,
selama perhitungan di atas kertas mengatakan sudah terjadi hilal (bulan
berada di atas ufuk saat matahari terbenam), pergantian bulan dianggap
telah terjadi.
b) Hisab Imkanur Rukyat. Awal bulan qamariah, menurut
sistem hisab imkanurr-rukyat, dimulai pada saat terbenam Matahari
setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah memenuhi syarat
untuk memungkinkan dapat dilihat. Dengan demikian, untuk menetapkan
masuknya awal bulan qamariah menurut aliran ini terlebih dahulu
ditetapkan suatu kaidah mengenai posisi hilal (Bulan) di atas ufuk yang
memungkinkan untuk dapat dilihat. Awal bulan baru itu ditetapkan
berdasarkan posisi hilal dengan segala persyaratan yang telah
ditetapkan, sehingga pada saat atau beberapa saat setelah terbenam
Matahari sesudah ijtima’ orang mungkin dapat melihat hilal tersebut.
Sebenarnya selain dari jenis-jenis hisab seperti yang disebutkan diatas, ada juga apa yang disebut sebagai “perhitungan melalui purnama”.
Metode hisab ini berpatokan pada posisi sempurna bulan purnama. Setelah
wujud purnama mencapai tingkat 100% , maka kemudian dihitung mundur
sebanyak 15 hari kebelakang untuk menentukan hilal. Yang menjadi masalah
disini adalah mengapa harus dihitung 15 hari ke belakang, padahal umur
bulan purnama tidak mutlak 15 hari? Hal ini bisa diibaratkan seperti
seorang ibu yang melahirkan anak dalam keadaan langsung beranjak dewasa,
sehingga untuk menentukan umur anak tsb dalam keadaan masih bayi kita
akan mengalami kesulitan! Apakah untuk menentukan umur anak itu kita
akan mematok dengan menghitung mundur misal sebanyak 15 tahun
kebelakang? Jelas tidak bukan?
Maka dari itu, pakar astronomi LAPAN, Prof. Thomas Djamaluddin
mengatakan bahwa awal bulan mestinya didasarkan pada fenomena yang ada
batas awalnya. Hilal ada batas awalnya, karena hari sebelumnya tidak
tampak, kemudian tampak sebagai tanda awal bulan. Tampak bisa dalam arti
fisik, terlihat, atau tampak berdasarkan kriteria visibilitasnya.
Purnama sulit menentukan batas awalnya. Dari segi ketampakan, bulan
tanggal 14 dan 15 hampir sama bentuknya, sama-sama bulat. Secara
teoritik, rata-rata purnama terjadi pada 14,76 hari setelah ijtimak
(bulan baru). Artinya, purnama bisa terlihat pada malam ke-14 atau
ke-15, sehingga tidak memberikan kepastian ketika ditelusur mundur.
Hal senada diungkapkan peneliti pada Obsevatorium Bosscha, Moedji
Raharto. Ia menegaskan, purnama tak menunjukkan apa pun kecuali posisi
bulan tersebut. Pada saat itu, bujur ekliptika bulan dan matahari sudah
mencapai 180 derajat. Kondisi itu pun tak bisa dijadikan landasan
menentukan awal bulan Hijriah. Pasalnya, dalam perumusan kalender
Hijriah, posisi hilal bisa lebih tua dari waktu konjungsi. “Bisa 20
hingga 26 jam bahkan ada yang mencapai 48 jam,” kata Moedji.
Artinya, bulan purnama bisa jatuh pada waktu yang berbeda-beda.
Purnama mungkin berlangsung pada 13, 14, atau 15 di bulan Qomariyah.
Karena itu, Moedji mengajak semua pihak bersikap arif dan mengembalikan
definisi hilal pada teknis serta mekanisme yang berlaku dalam astronomi.
Langkah ini diyakini bisa menghindari sikap saling klaim dan saling
menyalahkan satu sama lain. “Kita kembali ke definisi hilal,” katanya.
Sedangkan rukyat pada umumnya dikenal hanya 2 macam, yaitu:
(1) Bil Qalbi. Pergantian bulan terjadi hanya dengan meyakini
dalam hati bahwa saat itu sudah terjadi hilal. Tidak perlu menengok ke
langit atau menghitung di atas kertas, yang penting percaya. Sebagian
menyebut ru’yat ini sebagai melihat dengan mata batin.
(2) Bil Fi’li. Kelompok terakhir menafsirkan hadits secara
harfiah, bahwa hilal harus dilihat dengan mata secara langsung. Ini pun
masih menimbulkan tanda tanya, apakah harus dengan mata telanjang?
Sebagian berpendapat bahwa hilal harus dilihat dengan mata langsung dan
tidak boleh menggunakan alat yang memantulkan cahaya. Sedangkan sebagian
yang lain memperbolehkan.
2.2 . Penentuan 1 Syawal melalui metode Ruqiyat
Ruqiyat berasal dari bahasa Arab ra’a – yara – rukyatyang artinya
“melihat”. Hilal juga berasaldari bahasa Arab “al-hilal – ahillah” yaitu
bulan sabit (crescent) yang pertama terlihat setelahterjadinya
“ijtimak”. Ijtimak adalah bulan baru (new moon), disebut juga bulan
mati. Ijtimakterjadi saat posisi bulan dan matahari berada pada jarak
paling dekat. Secara astronomis, saatijtimak terjadi maka bujur ekliptik
bulan sama dengan bujur ekliptik matahari dengan arahpenglihatan dari
pusat bumi (geosentris). Pada waktu tertentu peristiwa ijtimak juga
ditandai dengan terjadinya gerhana matahari yaitu saat lintang ekliptik
bulan berimpit atau mendekati lintang ekliptik matahari. Periode dari
peristiwa ijtimak ke ijtimak berikutnya disebut ” bulan sinodis” yang
lamanya 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik
A. Beberapa Kriteria Penentuan 1 Syawal
Banyak kriteria dalam melakukan penentuan bulan sabit atau rukyatul
hilal. Wikipedia menunjukkan ada empat kriteria, yaitu rukyatul hilal
(langsung), wujudul hilal, imkanur rukyat, dan rukyat global.
1. Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender)
Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila
hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan
berjalan (kalender) digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari. Kriteria ini
digunakan antara lain oleh organisasi NU. Sayangnya, ketentuan usia
hilal, tinggi Bulan, dan sudut elongasi minimum agar bulan dapat dilihat
dengan mata ini masih ada beda pendapat. Salah satu pendapat datang
dari anggota Badan Hisab dan Rukyat Indonesia, T. Djamaluddin . Pertama,
umur hilal minimum 8 jam sejak
ijtimak. Kedua, tinggi bulan minimum tergantung beda azimut Bulan-Matahari. Bila bulan berada
lebih dari 6 derajat, tinggi minimumnya 2,3 derajat. Tetapi bila Bulan tepat berada di atas Matahari,
tinggi minimumnya 8,3 derajat. Tanggal 1 menurut kriteria Rukyatul Hilal
2. Wujudul Hilal
adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan
menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum
Matahari terbenam ( ijtima’ qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah
Matahari terbenam (moonset after sunset ). Jika dua prinsip itu
dipenuhi, maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan
(kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian ( altitude
) Bulan saat Matahari terbenam. Kriteria ini di Indonesia digunakan
oleh organisasi Muhammadiyah. Tanggal 1 menurut kriteria Wujudul Hilal.
3. Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender)
Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama
Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) dan
dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada 2 / 6
Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip: awal bulan (kalender)
Hijriyah terjadi jika pada saat matahari terbenam, ketinggian ( altitude
) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak
lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau pada saat Bulan terbenam, usia
Bulan minimum 8 jam dihitung sejak ijtimak. Prinsip ini diikuti antara
lain oleh organisasi Persis Persatuan Islam). Di samping metode Imkanur
Rukyat di atas, juga terdapat kriteria lainnya yang serupa, dengan
besaran sudut/angka minimum yang berbeda. Tanggal 1
4. Rukyat Global
adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang
menganut prinsip: jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk
seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki bulan Hijriyah
yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya
Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru
bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar
bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu
yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah
terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
Rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global.
Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan
Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada
visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada
hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi
lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60
derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak
normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya
atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi
kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim
panas melabihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah
timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu
rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam.
Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di
seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya.
2.3 Metode Muhmmadiyah dalam menentukan 1 syawal
Muhammadiyah menerapkan penentuan awal bulan menggunakan metode
hisab, meskipun tidak sepenuhnya menghilangkan proses rukyat. Hal ini
beralasan bahwa berdasarkan perkembangan iptek dan pola kehidupan
masyarakat maka pelaksanaan rukyat dilakukan dengan menggunakan hisab.
Dengan metode hisab dari Muhammadiyah ini maka dianggap sudah memasuki
bulan baru manakala sudah dapat dilihat wujudul hilal atau nampaknya
bulan baru setelah terbenamnya matahari.
Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu
metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah
baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi
konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam,
dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Sedangkan
argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah
sebagai berikut.
1. Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5).
Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan
beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi,
tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya.
Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan waktu.
2. Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa
Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa Az
Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan).
Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat
yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan
hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al
Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami
tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah
demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan
kadang-kadang tiga puluh hari”. Dalam kaidah fiqhiyah, hukum
berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi
ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku
perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab),
maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut
bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana.
Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut
seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk
menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di
tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
3. Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa
membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan
karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr.Nidhal Guessoum menyebut
suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem
penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan
bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur
dengan baik.
4. Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan
Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda
memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena
rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada
hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi
lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60
derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak
normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya
atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi
kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim
panas melabihi 24jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
5. Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya
bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur
tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya
lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal
bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya.
Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di
suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun,
jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman
sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas
pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
6. Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan
puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di
kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di
kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda
satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya,
hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat
melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan
hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk
bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di
ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat
memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena
itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara
selaras diseluruh dunia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam hisab ada beberapa jenis aliran yang pada intinya terbagi atas tiga jenis, yakni hisab urfi, hisab taqribi, dan hisab haqiqi.
Banyak kriteria dalam melakukan penentuan bulan sabit atau rukyatul
hilal. Wikipedi menunjukkan ada empat kriteria, yaitu rukyatul hilal
(langsung), wujudul hilal, imkanur rukyat, dan rukyat global.
Muhammadiyah sendiri menentukan jatuhnya 1 syawal menggunakan
metodehisab yang di yakini lebih meyakinkan dan karena banyak hal yang
menunjukan metode ruqiyah kurang akurat dalam menentukan 1 syawal
No comments:
Post a Comment